Kamis, 02 Mei 2019

Pendidikan di Era Industri 4.0

Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dewasa ini, memiliki implikasi langsung pada penyelenggaraan pendidikan. Seiring dengan perkembangan iptek ini, sekolah atau lembaga pendidikan wajib membuka diri dan beradaptasi. 

Implikasi langsung perkembangan Iptek dalam dunia pendidikan, setidaknya akan terlihat pada 3 hal berikut.
1. Kemampuan Guru
2. Perubahan Kurikulum
3. Proses pembelajaran

A. Skill Guru pada Penddikan Era Industri 4.0


Sikap atau Skill yang perlu dimiliki guru dalam menghadapi era Industry 4.0
1.       Embrace change with Positivity.  Guru multllak perlu punya keinginan yang kuat untuk belajar dan berubah sebagaimana juga teknologi berubah dan memasuki area pendidikan tempat dimana guru mengajar. Hadapi dengan positif setiap perubahan tersebut dan belajar serta beradaptasi serta mau berbagai kepada kolega baik kesuksesan maupun kegagalan.
2.       Collaborate, Collaborate, And Collaborate. Guru harus memiliki kemauan yang kuat untuk berkolaborasi daan belajar dengan dan dari yang lain. Skill ini sangat diperlukan pada era sekarang dan di masa yang akan datang. Dan sekarang hal itu dapat dilakukan dengan mudah, karena dunia kita sudah saling terhubung, sehingga tidak ada alasan untuk tidak berkolaborasi dengan yang lain. Lakukan dan capailah itu.
3.       Be Creative and Take risks. Kreativitas adalah salah satu skill era sekarang dan masa yad yang selalu muncul dalam daftar skill yang diperlukan. Kita perlu memodelkan kreativitas dan menggunakannya secara kreatif menyelesaikan masalah. Pikirkan lebih cerdas bagaimana kreativitas dapat diintegrasikan ke dalam rutinitas harian kita dan siap mengahadapi risiko yang muncul. Kesalahan adalah langkah awal dalam belajar dan ingat gagal (saat pertama kali mencoba) dan terus maju.
4.       Have a Sense of Humor. Tertawa dan humor dapat menjadi skill penting untuk membantu dalam membangun hubungan dan rileks dalam kehidupan. Ini akan mengurangi stress dan rasa frustasi dan sekaligus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melihat kehidupannya dari sisi lain. Ingat, guru yang humoris biasanya guru yang paling sering diingat oleh murid.
5.       Teach Holistically (mengajar secara utuh/holistic). Kemampuan dalam gaya mengajar, gaya belajar dan pembelajaran yang semakin bersifat individu semakin meningkat. Karena itu guru jaman NOW perlu mengenali siswa secara individu, termasuk keluarganya dan cara mereka belajar (mengenalnya secara utuh, termasuk kendala-kendala yang dialaminya baik secara pribadi maupun di dalam keluarganya.
 


Rabu, 28 Desember 2011

PERAN MASYARAKAT DALAM MEMBERANTAS KORUPSI DI NIAS

Oleh: Delipiter Lase

A. Pengantar
Korupsi barangkali sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat kita, bahkan mungkin tiga perempat manusia di plenet bumi ini pernah – sering mengucapkan kata Korupsi dalam keragaman bahasa yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa praktek Korupsi terjadi di mana-mana dan sudah tidak dibatasi lagi oleh wilayah geografis. Di Indonesia, korupsi sudah merambah keseluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam perkembangan terakhir, korupsi tidak hanya makin meluas, tetapi juga dilakukan secara sistematis sehingga tidak saja semata-mata merugikan keuangan negara tetapi telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Bahkan jumlah kasus, kerugian negara maupun modus operandinya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Fakta ini menunjukkan bahwa Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga internasional selalu menempatkan Indonesia dalam urutan tertinggi dari negara yang paling korup di dunia (Transparency International – 2008: Indonesia berada di urutan 126 dari 180 Negara yang disurvey dengan Indeks Persepsi Korupsi sebesar 2,6). Lebih lanjut, fakta juga menunjukkan bahwa dalam berbagai kasus, korupsi yang terjadi khususnya di Indonesia adalah korupsi birokrasi (Mahmood, 2005). Korupsi yang seperti ini terjadi dalam semua tingkatan pemerintahan, tidak hanya di pusat tetapi juga di daerah-daerah seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah (UU Nomor 22 Tahun 1999).
Sebelum melanjutkan pembahasan menyangkut dampak perilaku korupsi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan aktivitas apa yang boleh diperankan oleh masyarakat dalam rangka pemberantasannya, barangkali perlu pemahaman yang seragam tentang apa itu Korupsi. Oleh beberapa ahli mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari tanggungjawab seharusnya sebagai petugas publik karena kepentingan pribadi (keluarga, kawan dekat), karena mengharapkan keuntungan uang atau status; atau pelanggaran aturan dengan memanfaatkan pengaruh pribadi (Nye, 1967 dan Desta, 2006).
Definisi korupsi lainnya juga dikemukakan oleh van Kiaveren (1957; Heidenheimer dkk, 1989 dan Desta, 2006), yakni seorang pegawai negeri yang korup menganggap kantornya sebagai sebuah usaha dan menghasilkan pendapatan yang sebanyak-banyaknya bagi dirinya. Kantor kemudian menjadi unit untuk dimaksimalkan. Selanjutnya, pola korupsi dapat terjadi ketika seorang pemegang kekuasaan yang memiliki tanggungjawab untuk melakukan sesuatu, kemudian akibat diberi uang atau hadiah yang sebenarnya tidak diperkenankan, mendukung alau mengambil tindakan yang sesuai dengan keinginan orang yang memberinya hadiah dan karena perbuatannya tersebut merusak kepentingan publik (Friederick, 1966).
Lebih lanjut, dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yaitu kerugian keuangan negara; suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan; pemerasan; perbuatan curang; benturan kepentingan dalam pengadaan; serta gratifikasi (KPK, 2006). Sedangkan bila dilihat dari kategori pelakunya, Warren (2004) membaginya menjadi enam kategori, yakni korupsi yang dilakukan oleh negara terdiri dari tiga kategori (eksekutif, peradilan dan legislatif); korupsi yang dilakukan oleh publik seperti media; korupsi yang dilakukan oleh masyarakat sipil; serta korupsi yang dilakukan oleh pasar.
Berdasarkan definisi dan kategori korupsi di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi dan pelaku tindak pidana korupsi dimaksud tidak hanya terjadi dan terdiri dari pejabat negara seperti PNS dan para politisi, tetapi juga di lembaga-lembaga publik termasuk didalamnya yayasan bahkan lembaga-lembaga keagamaan, pengusaha, lembaga pendidikan, perbankan dan lembaga sosial lainnya serta masyarakat sipil. Masyarakat kemudian terseret dalam arus koruptif, hal itu semata-mata karena upaya terpaksa yang dilakukan untuk dapat memperoleh hak-haknya. Kebiasaan untuk membayar lebih dari harga yang ditetapkan peraturan kepada petugas dalam pengurusan ijin seperti SIM, KTP, STNK dan lain sebagainya merupakan wujud dari ketidak-berdayaan masyarakat untuk melawan sistem yang korup.



B. Dampak Korupsi dalam Berbagai aspek Kehidupan Manusia
Tema kompetisi menulis artikel ini dari penyelenggara adalah Korupsi memiskinkan bangsa. Hal ini memang nyata dan meyakinkan bahwa korupsi pada akhirnya menyebabkan masyarakat makin terpuruk dan sulit keluar dari kemiskinan. Distribusi pendapatan masyarakat/penduduk semakin tidak seimbang, artinya orang kaya makin kaya dan jumlah manusia yang berada di bawah garis kemiskinan semakin bertambah. Dan salah satu faktor penyebabnya adalah perilaku koruptif yang terjadi hampir di semua institusi/lembaga bahkan kelompok masyarakat. Terpuruknya masyarakat ke dalam jurang kemiskinan akibat korupsi yang sudah membudaya ini, akan terlihat pada setiap kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara dan pemerintahan (birokrasi) termasuk didalamya pada institusi pertahanan/keamanan dan politik; pengusaha, masyarakat sipil bahkan sampai pada penyusunan undang-undang sekalipun juga diwarnai oleh semangat korupsi. Beberapa gambaran di bawah ini menunjukkan bagaimana praktek-praktek korupsi tersebut memiskinkan bangsa.
Kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi suap, bukannya rakyat luas. Para politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil. Politikus-politikus “pro-bisnis”ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena mengabaikan prosedur, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi, sehingga yang wujud adalah kemunduran legitimasi pemerintahan dan nilai-nilai demokrasi.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat kekacauan dan ketidak-efisienan yang tinggi. Dalam sektor swasta, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup dan akhirnya karena sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Perusahaan yang dekat dengan penguasa dilindungi dan akibatnya adalah perusahaan-perusahaan yang tidak efisien dipertahankan. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Lebih lanjut, baik individu maupun masyarakat secara keseluruhan - selain meningkatkan ketamakan dan kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan, korupsi juga akan menyebabkan hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama. Rasa saling percaya yang merupakan salah satu modal sosial yang utama akan hilang, masyarakat kehilangan rasa percaya, baik antar sesama individu, maupun terhadap institusi negara.

C. Peran Masyarakat dalam Memberantas Korupsi di Nias
Di atas telah diuraikan bahwa korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa ini (Indonesia), tanpa kecuali daerah Nias, Nias Selatan dan tiga daerah otonomi baru di kepulauan Nias (Kota Gunungsitoli, Nias Utara dan Nias Barat) termasuk didalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi sudah menjadi agenda utama dan global. Namun agenda pemberantasan korupsi di Nias secara khusus dan Indonesia pada umumnya ternyata tidak bisa diperankan semata oleh elit politik dan aparat pemerintahan saja (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) mengingat penyakit yang satu ini sudah merajalela serta mengakar dan menjangkiti berbagai institusi pemerintahan . Dengan demikian dibutuhkan peran strategis masyarakat untuk mencegah, mendeteksi serta memberantas korupsi.
Hanya masih disayangkan berbagai kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan strategi pemberantasan korupsi belum mendukung adanya peran serta masyarakat yang lebih strategis. Sebab tanpa didukung dengan kebijakan pemerintah yang menguntungkan, masyarakat telah memainkan perannya dalam pemberantasan korupsi di berbagai aras.
Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam memberantas korupsi, antara lain:
Pertama, peran sebagai informan atau penyuplai informasi. Dalam hal ini masyarakat berperan mengambil inisiatif untuk melaporkan, membeberkan dan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum terhadap kemungkinan terjadinya praktek korupsi. Untuk mewujudkan peran ini, maka yang harus dimiliki oleh masyarakat adalah rasa peka dan kewaspadaan yang tinggi terhadap proses penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan. Adanya sikap semacam ini akan memicu keingintahuan masyarakat (secara dalam dan luas) pada hal-hal yang berlaku di sekitarnya. Dengan demikian jawaban atas keingintahuan masyarakat tersebut sangat potensial menjadi data dan informasi sebagai salah satu sumber data yang berguna untuk disampaikan kepada penegak hukum atas adanya indikasi praktek korupsi. Hal yang sangat membantu akhir-akhir ini adalah kebebasan memperoleh informasi telah menjadi produk kebijakan yang memaksa semua pejabat publik untuk membuka akses informasinya kepada masyarakat. Dalam kondisi ini, sangat memungkinkan laporan-laporan terjadinya kasus korupsi dapat terus mengalir, sehingga praktek korupsi akan dapat diminimalisir.
Kedua, peran sebagai penyebar isu. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau priorotas penanganan kasus-kasus pelanggaran hukum yang ada kaitannya dengan korupsi di negara ini tergantung pada seberapa luas isu dugaan korupsi itu menyebar dan sejauhmana media memberitakannya. Dalam kaitan inilah masyarakat berperan sebagai pemicu atau penyebar isu. Strategi ini menjadi sangat penting untuk membentuk opini atau persepsi masyarakat bahwa di satu tempat diduga kuat terjadi praktek korupsi, sekaligus sebagai respon atas rendahnya inisiatif aparat penegak hukum dalam membongkar kasus-kasus korupsi. Kebekuan ini perlu diterobos dengan memberikan informasi adanya dugaan korupsi kepada media massa supaya diketahui masyarakat luas. Situasi ini diharapkan akan dapat memaksa aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan yang konkrit. Strategi ini memang berisiko, misalnya dituntut dengan pencemaran nama baik, namun upaya itu tetap tidak bisa ditinggalkan.
Ketiga, peran sebagai pengawas. Tidak jarang bila laporan masyarakat tentang terjadinya kasus korupsi sering tidak ditanggapi dengan baik oleh aparat penegak hukum. Penegak hukum seringkali beranggapan bahwa Informasi atau data yang disampaikan oleh masyarakat semata-mata sebagai alat untuk memeras. Dalam kaitan inilah masyarakat tampil sebagai pengawas dan berperan untuk mengawal proses pengusutan kasus korupsi yang sedang dilakukan oleh aparat. Kegiatan unjuk rasa, dengar pendapat, diskusi publik, audiensi dan lain sebagainya merupakan sarana yang kerap digunakan kelompok masyarakat untuk mendorong percepatan penanganan korupsi. Memastikan bahwa pemberantasan korupsi berjalan sesuai dengan harapan merupakan langkah yang tidak mungkin diabaikan ditengah-tengah situasi aparat penegak hukum yang lamban dan setengah hati mengusut laporan.
Keempat, pesan moral melalui pendidikan. Satu hal yang tidak boleh terabaikan adalah proses pendidikan bagi anak-anak dalam keluarga. Perilaku korupsi pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dengan kualitas moral para pejabat publik pelaku korupsi. Disinilah masyarakat memiliki peran strategis untuk membekali anak-anak dalam keluarga melalui pendidikan nilai yang diwariskan kepada anak-anak secara turun-temurun. Melalui pendidikan karakter yang baik sejak usia dini terutama dalam keluarga, dapat diharapkan kelak anak-anak menjadi orang dewasa yang tidak mudah tergoda dengan sikap dan perilaku korupsi.

D. Penutup
Akhirnya, apa yang diuraikan di atas merupakan catatan reflektif penulis atas apa yang saat ini sedang dihadapi oleh bangsa dan negara kita secara umum dan Nias pada khsususnya. Dan harus disadari bahwa upaya pemberantasan korupsi itu sendiri tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah saja, namun dibutuhkan peran serta dari masyarakat luas. Sehingga pada akhirnya korupsi dapat diberantas paling tidak diminimalisir. Lebih lanjut, bahwa peran komponen bangsa/masyarakat lainnya seperti lembaga keagamaan dan pendidikan, juga sangat memadai untuk menjadi sarana kampanye anti korupsi yang tengah melanda negeri ini, di samping upaya internalisasi code of conduct - anti korupsi bagi setiap lembaga swadaya masyarakat.

Delipiter Lase │+62 821137 55597 │ Jl. Supomo No. 1 Gsitoli
Karyawan Swasta │ piterlase@gmail.com

Minggu, 16 Oktober 2011

Penilaian Sikap Peserta Didik

PENILAIAN SIKAP PESERTA DIDIK

Yang dimaksud dengan penilaian sikap adalah proses pengumpulan dan pengelolaan informasi yang berkaitan dengan ranah sikap untuk menentukan proses dan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran tertentu. Untuk dapat mengumpulkan informasi ini dapat dilakukan melalui Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester, Ulangan Akhir Semester dan Ujian Sekolah. Dan hasil belajar berupa nilai sikap peserta didik dimaksud akan dimuat pada kolom tersendiri di buku laporan hasil belajar peserta didik (rapor).
Sebelum melaksanakan pembelajaran dan penilaian sikap, terlebih dahulu guru PAK menyampaikan Standar Ketuntasan Belajar Minimal terhadap peserta didik dan orangtua peserta didik. Sehingga peserta didik yang memperoleh nilai di bawah SKBM belum dianggap tuntas, dan harus mengikuti remidial dengan beberapa pendekatan, seperti pembelajaran ulang, tutor sebaya, dan penugasan, setelah itu siswa tersebut ditest kembali.

Beberapa Aspek Sikap yang akan Dinilai
Pada umumnya, guru PAK dapat membagi arah sikap peserta didik yang akan dinilai menjadi lima bagaian, antara lain:
a) Bagaimana Sikap Peserta Didik terhadap Mata Pelajaran
Peserta didik yang menunjukkan sikap positif terhadap mata pelajaran PAK, akan dapat mempengaruhi hal-hal, seperti: (a) Minat belajar pada mata pelajaran PAK akan berkembang dan meningkat, (b) guru PAK akan lebih mudah mengarahkan dan memotivasi peserta didik untuk belajar, (c) peserta didik akan lebih mudah menyerap materi pembelajaran PAK. Berdasarkan hal tersebut, guru PAK perlu melaksanakan penilaian terhadap bagaimana sikap peserta didik terhadap mata pelajaran.
b) Bagaimana Sikap Peserta Didik terhadap Guru Mata Pelajaran PAK
Guru PAK perlu membangun komunikasi positif dengan setiap peserta didik.Dengan demikian, setiap peserta didik mampu menunjukkan penerimaan yang baik, wajar dan positif terhadap kehadiran, tugas dan panggilan guru PAK dalam lingkungan institusi pendidikannya.
Selain itu, setiap peserta didik perlu membangun, memiliki dan menunjukkan sikap positif terhadap guru kelas atau mata pelajaran. Peserta didik yang mampu menunjukkan sikap positifnya terhadap guru, akan membantu peserta didik yang bersangkutan untuk mempercepat memahami pembelajaran yang dilakukan. Sebaliknya, peserta didik yang tidak dapat bersikap positif pada kehadiran guru, sikap itu akan mendorong peserta didik untuk mengabaikan mata pelajaran yang disampaikan gurunya.
c) Bagaimana Sikap Peserta Didik terhadap terhadap Nilai-nilai Mata Pelajaran
Pada umumnya, setiap mata pelajaran pada tingkat satuan pendidikan memiliki ranah sikap (=afektif) yang akan dinilai.
Sebagai contoh, mata pelajaran PAK, untuk SD
Kelas I:
Terdiri dari 1 standar kompetensi (SK) dan 4 kompetensi dasar (KD). Keempat KD dimaksud akan lebih tepat jika digolongkan ke dalam ranah sikap. Perhatikan kata yang huruf tebal dan miring berikut ini.
• Menerima keberadaan diri sebagai pemberian Allah.
• Menjawab kasih Allah dengan cara mengasihi.
• Mensyukuri alam ciptaan Allah dan isinya.
• Mensyukuri hidup bersama orangtua
…………………, dst.
Kelas XII:
• Menjelaskan ………
• Bersikap kritis ………
• Bersikap kritis ………
• Mewujudkan ………
Dari 44 KD mata pelajaran PAK mulai dari tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah, seperti dipaparkan di atas, 31 KD di antaranya dapat digolongkan ke dalam ranah sikap (=afektif). Artinya 70% lebih, KD PAK berasal dari ranah sikap.Dengan demikian, penilaian berorientasi sikap sangat penting dilakukan.

d) Bagaimana Sikap Peserta Didik pada Materi Pembelajaran
Bagaimana sikap peserta didik trhadap materi pembelajaran sangat mempengaruhi efektifitas pembelajaran yang akan dilakukan. Karena hal ini sangat penting, guru PAK perlu melaksanakan penilaian terhadap hal itu.
e) Bagaimana Sikap Peserta Didik terhadap Pembelajaran
Yang dimaksud dengan pembelajaran dalam hal ini adalah segala upaya yang dilakukan oleh guru mulai dari perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran dan penilaian proses dan hasil pembelajaran, yang menyebabkan peserta didik belajar. Pengertian ini sekaligus membedakan pengajaran dan pembelajaran.Pengajaran dari kata “ajar” berarti guru mengajar.Sementara guru mengajar, belum tentu menyebabkan peserta didik belajar.Sedangkan pembelajaran berasal dari kata belajar, berarti menyebabkan peserta didik belajar.
Memperhatikan substansi pengertian pembelajaran di atas, guru sebagai agen atau duta pembelajaran bagi peserta didik sangat penting mendapat perhatian guru dan peserta didik.Sebagai guru harus mempersiapkan segala sesuatunya dan dapat menyebabkan peserta didik belajar. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pasal 5 ayat (7) mengamanatkan bahwa pembelajaran agama harus dilaksanakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreatifitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses. Setelah guru mempersiapkannya sedemikian rupa, peserta didik sangat penting menyikapi pembelajaran secara positif.Bagaimana sikap peserta didik terhadap pembelajaran yang dilaksanakan adalah hal yang penting diperhatikan oleh guru.

TEKNIK PENILAIAN SIKAP
Di atas telah diuraikan bahwa teknik nontes memegang peranan penting dalam rangka mengevaluasi hasil belajar peserta didik dari segi ranah sikap (affective domain), dan ranah keterampilan (psychomotor domain).Dan dalam kaitannya dengan pembelajaran PAK, penilaian sikap dapat dilakukan dengan beberapa teknik.Teknik itu sendiri diadopsi dari teknik penilaian sikap yang dikembangkan oleh Sairaman Sitanggang, yakni: (1) Observasi/mengamati perilaku, (2) Pertanyaan langsung, dan (3) Laporan Pribadi.

1. Observasi/mengamati perilaku peserta didik
Pada Lampiran Permendeknas Nomor 20 tahun 2007 tentang standar Penilaian Pendidikan pada bagian C ayat 3 bahwa penilaian dengan melaksanakan teknik observasi adalah sah dan diharapkan, khususnya dalam penilaian sikap peserta didik. Yang dimaksud dengan observasi adalah pelaksanaan pengamatan langsung tingkah laku peserta didik. Hal ini dijadikan sebagai salah satu teknik penilaian sikap peserta didik karena apa yang dilakukan peserta didik adalah cerminan sikap. Dan ini tidak perlu diragukan, Amsal 4:23 berkata demikian: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan”.
Saat guru melaksanakan observasi tingkah laku peserta di dalam atau di luar kelas, khususnya untuk menilai bagaimana sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, atau terhadap guru, atau terhadap nilai-nilai Kristiani, seperti takun akan Tuhan, tanggung jawab, beriman, dan lain-lain atau terhadap materi pembelajaran dan proses pembelajaran, sebaiknya guru telah didukung oleh format penilaian.

2. Pertanyaan Langsung
Dalam menilai bagaimana sikap peserta didik terhadap materi pembelajaran contohnya, dapat jua dilakukan dengan menanyakan secara langsung. Saat melaksanakan penilaian ini, guru PAK sebaiknya telah didukung oleh perangkat, seperti lembar penilaian sikap terhadap komponen yang akan dinilai.

3. Laporan Pribadi
Untuk mengetahui bagaimana sikap peserta didik, guru PAK dapat juga menggunakan laporan pribadi siswa.Sebagai contoh, bagaimana sikap peserta didik pada “kerusuhan antar etnis” yang sering terjadi di Indonesia, khususnya pada dua dasawarsa terakhir ini.Peserta didik diminta bagaimana tanggapannya.Dari ulasan peserta didik tersebut, guru dapat membaca dan memahami bagaimana sikap setiap peserta didik.Dalam menggunakan teknik ini, guru membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membaca, menganalisa dan memberi skornya.

Berdasarkan penilaian sikap peserta didik di atas, maka hasil penilaian peserta didik perlu ditindak-lanjuti. Hal ini penting karena akan bermanfaat memberikan masukan terhadap beberapa hal, seperti 1) untuk mengefektifkan usaha yang dilakukan peserta didik dan guru dalam meningkatkan hasil penilaian sikap peserta didik, 2) meningkatkan usaha pembinaan sikap peserta didik, baik secara pribadi dan klasikal, 3) untuk melaksanakan perbaikan terhadap proses pembelajaran, khususnya pembelajaran yang berorientasi sikap peserta didik, dan 4) merancang materi berorientasi sikap untuk pembinaan guru PAK, baik oleh MGMP PAK, gereja dan Kementerian Agama, atau instansi terkait lainnya.

PENUTUP

Evaluasi atau penilaian dalam pendidikan khususnya hasil pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis yang diperlukan dalam rangka menilai dan menentukan sejauhmana tujuan-tujuan pengajaran/pembelajaran serta hasil belajartelah dicapai oleh siswa.Mengingat 70% lebih Kompetensi Dasar (KD) mata Pelajaran PAK, pada tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah adalah ditetapkan untuk mengembangkan sikap peserta didik (Permen Diknas Nomor 22 Tahun 2006), maka konsep evaluasi hasil pembelajaran PAK yang sejatinya dikembangkan oleh guru PAK adalah evaluasi dengan teknik penilaian yang tidak hanya didominasi oleh penilaian kognitif, tetapi juga memperhatikan penilaian afektif (=sikap), sebab dominansi kompetensi dasar mata pelajaran agama ditetapkan untuk mengembangkan domain sikap peserta didik.

Evaluasi Pembelajaran PAK

EVALUASI HASIL PEMBELAJARAN PAK
Oleh: Delipiter Lase, MPd


PENDAHULUAN
Salah satu unsur penting dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional adalah guru atau tenaga kependidikan. Salah satu tugas guru dalam menyelenggarakan proses pembelajaran adalah melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa pada setiap kegiatan belajar mengajar. Dalam Anas Sudijono, Edwind Wandt dan Gerald W. Browon mengatakan bahwa Evaluation refer to the act process to determining the value of something. Menurut definisi ini, istilah evaluasi itu menunjuk kepada atau mengandung pengertian: suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Sedangkan dalam hubungannya dengan kegiatan pembelajaran, Norman E. Gronlund (1976) dalam bukunya Ngalim Purwanto, merumuskan pengertian evaluasi sebagai berikut: “Evaluation … a systematic process of determining the extent to which instructional objectives are achieved by pupils”. (Evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa).
Lebih lanjut, Wrightsone dan kawan-kawan mengemukakan rumusan evaluasi pendidikan sebagai berikut: “Educational evaluation is the estimation of the growth and progress of pupils toward objectives or values in the curriculum”. (Evaluasi pendidikan adalah penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan siswa ke arah tujuan-tujuan atau nilai-nilai yang telah ditetapkan di dalam kurikulum).
Secara umum, ruang lingkup dari evaluasi dalam bidang pendidikan mencakup tiga komponen utama, yaitu (1) evaluasi mengenai program pengajaran, (2) evaluasi mengenai proses pelaksanaan pengajaran, dan (3) evaluasi mengenai hasil belajar. Untuk komponen yang terakhir ini mencakup evaluasi terhadap hasil belajar peserta didik mengenai tingkat penguasaan dan pen-capaian peserta didik terhadap tujuan-tujuan khusus dan umum pengajaran.
Di lingkungan pendidikan atau sekolah, evaluasi yang sasarannya adalah hasil belajar dilaksanakan oleh guru. Hal ini menujukkan bahwa guru bertugas untuk mengukur apakah siswa sudah menguasai ilmu yang dipelajari atas bimbingan guru sesuai dengan tujuan yang dirumuskan.
Mengingat pentingnya tugas guru dalam melaksanakan evaluasi hasi belajar siswa, maka tugas ini harus benar-benar menjadi perhatian utama pada setiap kegiatan belajar mengajar di samping tugas dan peran guru lainnya. Hal ini menjadi penting karena hasil atau nilai yang diberikan oleh guru pada setiap kegiatan evaluasi belajar peserta didik pada setiap mata pelajaran, adalah untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pembelajaran, dalam hal ini perubahan tingkah laku siswa. Di samping sebagai umpan balik bagi upaya memperbaiki proses belajar mengajar, juga bermanfaat untuk menentukan bagaimana keberadaan atau kedudukan peserta didik pada masa yang akan datang.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dan juga kenyataan di lapangan yang ditemui oleh penulis, ternyata masih banyak guru di berbagai jenis dan jenjang pendidikan termasuk di dalamnya guru PAK yang belum memahami dengan baik konsep penilaian (evaluasi) dalam proses pembelajaran. Dalam melaksanakan evaluasi, guru sebagai evaluator lebih berorientasi penilaian kognitif, sehingga aspek lainnya terabaikan.
Dalam lampiran Permen Diknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dikatakan bahwa 70% lebih Kompetensi Dasar (KD) mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK), pada tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah ditetapkan untuk mengembangkan sikap peserta didik. Angka yang besar ini menunukkan, bahwa tugas dan panggilan utama mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen adalah untuk mengembangkan sikap, tanpa mengabaikan pengembangan kedua ranah lainnya.
Setelah melaksanakan proses pembelajaran, guru PAK tentu melaksanakan penilaian untuk menentukan tingkat keberhasilan peserta didik, baik secara kognitif, afektif dan psikomotoris. Akan tetapi terdapat indikasi, bahwa perencanaan, pelaksanaan pembelajaran dan teknik penilaian PAK lebih didominasi oleh pengembangan dan penilaian kognitif dibanding afektif (=sikap). Pada hal, muatan standar isi mata pelajaran PAK mulai dari SD-SMA/K menunjukkan lebih dari 70% Kompetensi Dasar ditetapkan untuk mengembangkan domain sikap peserta didik.
Bertolak dari pemikiran di atas, salah satu kelemahan pendidikan kita adalah terjadinya pembelajaran yang mengakibatkan peserta didik mengetahui dan memahami apa yang telah diajarkan. Tetapi, setelah peserta didik diminta untuk mengimplementasikan apa yang mereka ketahui tadi, mereka menjadi ragu-ragu dan tidak mampu.
Hal tersebut tentu saja didorong oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang meyebabkan hal tersebut adalah pembelajaran dan penilaian yang lebih mengutamakan domain kognitif, dibanding kedua ranah lainnya, yakni: ranah afektif dan psikomotoris. Dalam kaitan itu, tentu Pendidikan Agama Kristen (PAK) sepatutnya mengutamakan ranah sikap, walaupun tidak mengabaikan kedua ranah lainnya.

Batasan dan Rumusan Masalah
Permasalahan pokok yang menjadi substansi kajian dalam penulisan karya ilmiah ini adalah:
1.Konsep dasar evaluasi atau penilaian dalam proses belajar mengajar Pendidikan Agama Kristen.
2. Penilaian yang berorientasi sikap peserta didik.
Berdasarkan batasan di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini dirumuskan menjadi:
1. Mengapa penilaian (evaluasi) menjadi kebutuhan atau penting dalam proses pembelajaran?
2. Apa yang menjadi konsep dasar dan teknik yang efektif dalam melakukan evaluasi hasil pembelajaran PAK?
3. Bagaimana guru PAK melaksanakan tugas evaluasi dalam mengukur hasil pembelajaran PAK sesuai muatan standar isi mata pelajaran PAK?

Tujuan Penulisan
Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah:
1. Untuk mengetahui kedudukan evaluasi dalam proses pembelajaran
2. Untuk menggambarkan konsep dasar, alat dan teknik yang efektif dalam melakukan penilaian terhadap hasil pembelajaran PAK.
3. Untuk menggambarkan bagaimana guru melaksanakan tugas evaluasi dalam mengukur hasil pembelajaran PAK sesuai muatan standar isi mata pelajaran.

Metode Penulisan
Pendekatan penulisan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan deskriptif-kualitatif melalui kombinasi metode kepustakaan dan kajian pengembangan. Metode yang digunakan ini merupakan penampilan penalaran keilmuan dengan memamparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir atau pengembangan penulis mengenai suatu masalah/topik kajian.

EVALUASI HASIL PEMBELAJARAN

Ditinjau dari sudut bahasa, penilaian atau evaluasi diartikan sebagai proses menentukan nilai suatu objek. Untuk dapat menentukan suatu nilai suatu objek diperlukan adanya ukuran atau kriteria.
Sependapat dengan itu, Edwind Wandt dan Gerald W. Browon dalam Anas Sudijono, mengatakan bahwa Evaluation refer to the act process to determining the value of something. Menurut definisi ini, istilah evaluasi itu menunjuk kepada suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.
Dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar, Sudjana mendefinisikan penilaian hasil belajar sebagai proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Sedangkan hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku dalam arti yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik.Berdasarkan definisi tersebut, maka dalam penilaian hasil belajar, peranan tujuan instruksional yang berisi rumusan kemampuan dan tingkah laku yang dinginkan dikuasai siswa menjadi unsur penting sebagai dasar dan acuan penilaian.
Masih dalam kaitan dengan kegiatan pembelajaran, Norman E. Gronlund (1976) dalam bukunya Ngalim Purwanto, merumuskan pengertian evaluasi sebagai berikut: “Evaluation … a systematic process of determining the extent to which instructional objectives are achieved by pupils”. (Evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa). Sedangkan dalam arti luas, Mehrens dan Lehmann mengatakan bahwa evaluasi adalah suatu prose merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternative-alternatif keputusan.



Fungsi Evaluasi
Ngalim Purwanto mengelompokkan fungsi evaluasi ke dalam empat fungsi yaitu: (a) Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan siswa setelah mengalami atau melakukan kegiatan belajar selama jangka waktu tertentu; (b) Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pengajaran, yang terdiri dari berbagai komponen antara lain tujuan, materi atau bahan pengajaran, metode dan kegiatan belajar-mengajar, alat dan sumber pengajaran, prosedur serta alat evaluasi. (c) Untuk keperluan Bimbingan dan Konseling (BK); dan (d) Untuk keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum sekolah yang bersangkutan.
Masih dalam kaitan fungsi evaluasi, Arikunto mengatakan bahwa tujuan atau fungsi penilaian ada beberapa hal, yaitu: (a) Penilaian berfungsi Selektif, (b) Penilaian berfungsi dagnostik, (c) Penilaian berfungsi sebagai penempatan, dan (d) Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan.
Sedangkan menurut Nana Sudjana, penilaian berfungsi sebagai (a) alat untuk mengetahui tercapai-tidaknya tujuan instruksional; (b) umpan balik bagi perbaikan proses belajar-mengajar; dan (c) dasar dalam menyusun lapoan kemajuan belajar siswa kepada orangtuanya.

Ranah Kogintif, Afektif dan Psikomotor sebagai Objek Evaluasi Hasil Belajar
Di muka telah diuraikan bahwa seorang evaluator dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar dituntut untuk mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi pemahamannya terhadap materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan (aspek kognitif), maupun dari segi penghayatan (aspek afektif) dan pengalamannya (aspek Psikomotor).
Seiring dengan itu, Benjamin S. Bloom dan kawan-kawannya dalam Anas Sudijono, berpendapat bahwa taksonomi atau pengelompokan tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain yang melekat pada diri peserta didik, yaitu (1) Ranah proses berpikir (cognitive domain), (2) Ranah nilai atau sikap (affective domain), dan (3) Ranah keterampilan (psychomotor domain). Dalam konteks evaluasi hasi belajar, maka ketiga domain inilah yang harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar.
1. Ranah Kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan atau aktivitas mental (otak). Dalam ranah kognitif ini terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi, yakni: (a) Pengetahuan (knowledge); (b) Pemahaman (comprehension); (c) Penerapan atau aplikasi (application); (d) Analisis (analisys); (e) Sintesis (synthesis); dan (f) Penilaian (Evaluation)
2. Ranah Afektif
Ranah afektif ini dikelompokan ke dalam lima jenjang, yakni: (a) Receiving atau attending (menerima atau memperhatikan); (b) Responding (menanggapi); (c) Valuing (menilai); (d) Organization (mengatur); dan (e) Characterization by Value or Value Complex (Karakterisasi).
3. Ranah Psikomotor
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan dan kemampuan individu, dan merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif serta hasil belajar afektif. Hasil belajar kognitif dan afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor bila peserta didik telah menunjukan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya.

Alat Evaluasi Hasil Belajar
Secara umum, alat adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk mempermudah seseorang untuk melaksanakan tugas atau mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien.Dalam kegiatan evaluasi, alat juga berfungsi untuk memperoleh hasil yang lebih baik sesuai dengan kenyataan yang dievaluasi.
Dari pengertian tersebut maka alat evaluasi dikatakan baik apabila mampu mengevaluasi sesuatu yang dievaluasi dengan hasil seperti keadaan yang dievaluasi. Dalam menggunakan alat tersebut evaluator menggunakan cara atau teknik, dan oleh karena itu dikenallah istilah Teknik Evaluasi, yang terdiri dari teknik tes dan teknik nontes.
a. Teknik Tes
Yang dimaksud dengan tes adalah cara yang dapat dipergunakan atau prosedur yang perlu ditempuh dalam rangka pengukuran atau penilaian di bidang pendidikan, yang berbentuk pemberian tugas atau serangkaian tugas baik berupa pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab, atau perintah-perintah yang harus dikerjakan oleh testee (pihak yang dikenai ujian = peserta didik), sehingga atas dasar data yang diperoleh dari pengukuran tersebut dapat dihasilkan nilai yang melambangkan tingkah laku atau prestasi testee; nilai mana dapat dibandingkan dengan nilai-nilai yang dicapai oleh testee lainnya, atau dibandingkan dengan nilai standar tertentu. Sebagai alat pengukur, tes digolongkan atas tiga jenis yaitu Tes Diagnostik, Tes Formatif dan Tes Sumatif.


b. Teknik Nontes
Dengan teknik nontes maka evaluas hasil belajar peserta didik dilakukan dengan tanpa menguji peserta didik, melainkan dilakukan dengan melakukan pengamatan secara sistematis (observation), melakukan wawancara (interview), menyebarkan angket (questionnaire), dan memeriksa atau meneliti dokumen-dokumen (documentary analysis).
Teknis nontes ini pada umumnya memegang peranan penting dalam rangka mengevaluasi hasil belajar peserta didik dari segi ranah sikap (affective domain), dan ranah keterampilan (psychomotor domain). Sedangkan teknik tes lebih banyak digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik dari segi ranah proses berpikirnya (cognitive domain).
Selain pendapat di atas, Arikunto juga mengemukakan bahwa yang tergolong ke dalam teknik nontes ini adalah skala bertingkat (rating scale); kuesioner (questioner); daftar cocok (check list); wawancara (interview); pengamatan (observation) dan riwayat hidup.

Hakekat dan Ugensi Evaluasi
Berdasarkan beberapa definisi evaluasi sebagaimana diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi atau penilaian dalam pendidikan khususnya hasil pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis yang diperlukan dalam rangka menilai dan menentukan sejauhmana tujuan-tujuan pengajaran serta hasil belajar telah dicapai oleh siswa. Tujuan pembelajaran (instruksional) yang dimaksud adalah rumusan kemampuan dan tingkah laku yang dinginkan dikuasai siswa, sedangkan hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku dalam arti yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Evaluasi atau penilaian hasil pembelajaran merupakan salah satu komponen penting dalam proses pembelajaran. Artinya dengan mendasarkan diri pada apa yang menjadi tujuan dan fungsi evaluasi, maka evaluasi atau penilaian menjadi suatu kebutuhan bagi sekolah, guru dan peserta didik. Urgensi evaluasi ini dapat ditinjau dari tiga aspek, yakni aspek psikologis, aspek didaktik dan apsek Administrasi.

Selasa, 11 Mei 2010

Konfercab I GAMKI Kota Gunungsitoli


Konfercab I GAMKI [Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia)
Kota Gunungsitoli.
Kamis, tanggal 20 Mei 2010
di Gunungsitoli.

Berhubung karena padatnya jadwal DPD GAMKI Sumatera Utara
Maka rencana tgl 20 Mei 20 atas diundur menjadi
tanggal 10 Juni 2010 hari Kamis bertempat di
Nias Palace Hotel

Minggu, 02 Mei 2010

Paradigma Baru Manajemen Pendidikan

Pendidikan merupakan bagian penting dari proses pembangunan nasional yang ikut menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pendidikan juga merupakan investasi dalam pengembangan sumber daya manusia, di mana peningkatan kecakapan dan kemampuan diyakini sebagai faktor pendukung upaya manusia dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian. Dalam rangka inilah pendidikan diperlukan dan dipandang sebagai kebutuhan dasar bagi masyarakat yang ingin maju, demikian halnya bagi masyarakat Indonesia yang memiliki wilayah yang sangat luas.
Luasnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bervariasinya kondisi daerah beserta masalah-masalah yang dihadapi telah mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan potensi daerah dan kendalanya dalam perencanaan. Standardisasi dan penyeragaman rencana yang terlalu terpusat dirasakan menghambat pelaksanaan pembangunan karena cenderung akan berakibat pada ketidaksesuaian antara rencana pusat dan kebutuhan daerah masing-masing.
Sejalan dengan arah kebijakan otonomi dan desentralisasi yang ditempuh pemerintah (UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah), tanggung jawab pemerintah daerah akan meningkat, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah diharapkan untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan, mulai dari tahap perumusan kebijakan daerah, perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pemantauan di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan pemerintah.
Mencermati pengelolaan pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, kita memperoleh gambaran yang menunjukkan betapa rendahnya kualitas pendidikan kita. Berbagai program yang dilaksanakan telah memberikan harapan bagi kelangsungan dan tekendalinya kualitas pendidikan Indonesia. Akan tetapi, karena pengelolaannya yang terlalu kaku dan sentralistik, program itu pun tidak banyak memberikan dampak positif, angka partisipasi pendidikan nasional maupun kualitas pendidikan tetap menurun. Diduga hal tersebut erat kaitannya dengan masalah manajemen. Dalam kaitan inilah manajemen berbasis sekolah tampil sebagai paradigma baru pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan sekolah dan kebutuhan daerah masing-masing.
Manajemen berbasis sekolah yang disingkat dengan MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan pada sekolah agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Konsep ini juga menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi dan pemerataan pendidikan.
Pemberian otonomi ini menuntut sekolah secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, mempertanggung-jawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Di samping pentingnya pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan sistem yang ada di sekolah.
MBS yang ditawarkan sebagai bentuk operasional desentralisasi pendidikan dengan sendirinya memberikan wawasan baru terhadap sistem yang berjalan selama ini. Kebaruan ini harus diwaspadai oleh para pelaku MBS di tingkat sekolah dengan mengkaji berbagai aspek yang mendukung efektivitas pelaksanaannya. Hal ini penting agar inovasi yang ditawarkan tidak sebatas konsep, tetapi benar-benar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, dan yang paling penting tidak mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya, seperti konsep-konsep inovatif sebelumnya seperti total quality management (TQM), local content curriculum (LCC) yang pada dasarnya disebabkan oleh kurang matangnya pemahaman para pelaksana di lapangan terhadap konsep-konsep yang ditawarkan.
Permasalahan yang berkaitan dengan manajemen berbasis sekolah, yang menjadi substansi kajian dalam tulisan ini, yaitu efektivitas pelaksanaan MBS di sekolah-sekolah. Efektivitas pelaksanaan MBS digambarkan oleh bagaimana pengelolaan sekolah dilaksanakan secara tepat sesuai dengan prinsip-prinsip MBS dalam upaya pemerataan, efisiensi, peningkatan kualitas dan produktivitas pendidikan.
Pada hakikatnya efektivitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju dan bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional. Berdasarkan pengertian tersebut, efektivitas MBS berarti bagaimana MBS berhasil melaksanakan semua tugas pokok sekolah, menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya, sumber dana, dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah.
MBS sebagai suatu pendekatan alternatif dalam rangka desentralisasi pendidikan memberi peluang kepada sekolah, guru dan peserta didik untuk melakukan inovasi berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran, manajerial dan lain sebagainya yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas, dan profesionalisme yang dimiliki. Pertanyaannya, adakah sekolah menjalankan pengelolaan sekolah sesuai dengan konsep manajemen berbasis sekolah? Perubahan-perubahan apa yang telah diperoleh terkait dengan penerapan konsep baru tersebut?
Sejauh pengamatan penulis, pengelolaan sekolah terutama Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada umumnya masih menerapkan manajemen pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah pusat. Dan apa yang diharapkan dalam pengelolaan pendidikan sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah belum dapat direalisasikan secara optimal. Hal itu disebabkan karena berbagai kendala yang ditemui dalam pelaksanaanya. Kelemahan dalam penerapan MBS terletak pada kurangnya sosialisasi mengenai konsep, strategi dan implementasi MBS oleh pemerintah sebagai perumus kebijakan. Sehingga para pelaku di lapangan belum memiliki pemahaman yang mendalam tentang konsep baru yang akan diterapkan.
Potensi para pelaku MBS khususnya kepala sekolah sebagai manajer sangat menentukan efektivitas implementasi MBS. Efektivitas implementasi ini pun tidak terlepas dari pemahaman kepala sekolah mengenai konsep dan strategi konsep itu sendiri. Seringkali kita masih ragu akan kemampuan manajerial kepala sekolah dalam hal pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk memecahkan setiap masalah yang dihadapi. Di sisi lain pemahaman tentang konsep MBS dan kemampuan manajerial kepala sekolah sangat berperan dalam mengefektifkan pelaksanaan MBS.
Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah yang berorientasi mutu menuntut adanya konsistensi dan komitmen yang tinggi dari para pelaku di lapangan. Hal ini menjadi penting untuk menghindari gagalnya implementasi dan tidak efektifnya konsep MBS dalam meningkatkan mutu sekolah.
MBS dapat dilaksanakan secara efektif apabila kondisi sekolah mendukung, dan terdapat banyak komponen yang memegang peranan penting dalam pengelolaan sekolah terutama kepala sekolah dan guru. Kepala sekolah sebagai aktor utama implementasi MBS mempunyai peranan yang dominan karena sebagai manajer, kepala sekolah memiliki wewenang dan otoritas untuk mengorganisasikan seluruh sumber daya yang ada di sekolah.