Rabu, 28 Desember 2011

PERAN MASYARAKAT DALAM MEMBERANTAS KORUPSI DI NIAS

Oleh: Delipiter Lase

A. Pengantar
Korupsi barangkali sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat kita, bahkan mungkin tiga perempat manusia di plenet bumi ini pernah – sering mengucapkan kata Korupsi dalam keragaman bahasa yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa praktek Korupsi terjadi di mana-mana dan sudah tidak dibatasi lagi oleh wilayah geografis. Di Indonesia, korupsi sudah merambah keseluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam perkembangan terakhir, korupsi tidak hanya makin meluas, tetapi juga dilakukan secara sistematis sehingga tidak saja semata-mata merugikan keuangan negara tetapi telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Bahkan jumlah kasus, kerugian negara maupun modus operandinya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Fakta ini menunjukkan bahwa Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga internasional selalu menempatkan Indonesia dalam urutan tertinggi dari negara yang paling korup di dunia (Transparency International – 2008: Indonesia berada di urutan 126 dari 180 Negara yang disurvey dengan Indeks Persepsi Korupsi sebesar 2,6). Lebih lanjut, fakta juga menunjukkan bahwa dalam berbagai kasus, korupsi yang terjadi khususnya di Indonesia adalah korupsi birokrasi (Mahmood, 2005). Korupsi yang seperti ini terjadi dalam semua tingkatan pemerintahan, tidak hanya di pusat tetapi juga di daerah-daerah seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah (UU Nomor 22 Tahun 1999).
Sebelum melanjutkan pembahasan menyangkut dampak perilaku korupsi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan aktivitas apa yang boleh diperankan oleh masyarakat dalam rangka pemberantasannya, barangkali perlu pemahaman yang seragam tentang apa itu Korupsi. Oleh beberapa ahli mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari tanggungjawab seharusnya sebagai petugas publik karena kepentingan pribadi (keluarga, kawan dekat), karena mengharapkan keuntungan uang atau status; atau pelanggaran aturan dengan memanfaatkan pengaruh pribadi (Nye, 1967 dan Desta, 2006).
Definisi korupsi lainnya juga dikemukakan oleh van Kiaveren (1957; Heidenheimer dkk, 1989 dan Desta, 2006), yakni seorang pegawai negeri yang korup menganggap kantornya sebagai sebuah usaha dan menghasilkan pendapatan yang sebanyak-banyaknya bagi dirinya. Kantor kemudian menjadi unit untuk dimaksimalkan. Selanjutnya, pola korupsi dapat terjadi ketika seorang pemegang kekuasaan yang memiliki tanggungjawab untuk melakukan sesuatu, kemudian akibat diberi uang atau hadiah yang sebenarnya tidak diperkenankan, mendukung alau mengambil tindakan yang sesuai dengan keinginan orang yang memberinya hadiah dan karena perbuatannya tersebut merusak kepentingan publik (Friederick, 1966).
Lebih lanjut, dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yaitu kerugian keuangan negara; suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan; pemerasan; perbuatan curang; benturan kepentingan dalam pengadaan; serta gratifikasi (KPK, 2006). Sedangkan bila dilihat dari kategori pelakunya, Warren (2004) membaginya menjadi enam kategori, yakni korupsi yang dilakukan oleh negara terdiri dari tiga kategori (eksekutif, peradilan dan legislatif); korupsi yang dilakukan oleh publik seperti media; korupsi yang dilakukan oleh masyarakat sipil; serta korupsi yang dilakukan oleh pasar.
Berdasarkan definisi dan kategori korupsi di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi dan pelaku tindak pidana korupsi dimaksud tidak hanya terjadi dan terdiri dari pejabat negara seperti PNS dan para politisi, tetapi juga di lembaga-lembaga publik termasuk didalamnya yayasan bahkan lembaga-lembaga keagamaan, pengusaha, lembaga pendidikan, perbankan dan lembaga sosial lainnya serta masyarakat sipil. Masyarakat kemudian terseret dalam arus koruptif, hal itu semata-mata karena upaya terpaksa yang dilakukan untuk dapat memperoleh hak-haknya. Kebiasaan untuk membayar lebih dari harga yang ditetapkan peraturan kepada petugas dalam pengurusan ijin seperti SIM, KTP, STNK dan lain sebagainya merupakan wujud dari ketidak-berdayaan masyarakat untuk melawan sistem yang korup.



B. Dampak Korupsi dalam Berbagai aspek Kehidupan Manusia
Tema kompetisi menulis artikel ini dari penyelenggara adalah Korupsi memiskinkan bangsa. Hal ini memang nyata dan meyakinkan bahwa korupsi pada akhirnya menyebabkan masyarakat makin terpuruk dan sulit keluar dari kemiskinan. Distribusi pendapatan masyarakat/penduduk semakin tidak seimbang, artinya orang kaya makin kaya dan jumlah manusia yang berada di bawah garis kemiskinan semakin bertambah. Dan salah satu faktor penyebabnya adalah perilaku koruptif yang terjadi hampir di semua institusi/lembaga bahkan kelompok masyarakat. Terpuruknya masyarakat ke dalam jurang kemiskinan akibat korupsi yang sudah membudaya ini, akan terlihat pada setiap kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara dan pemerintahan (birokrasi) termasuk didalamya pada institusi pertahanan/keamanan dan politik; pengusaha, masyarakat sipil bahkan sampai pada penyusunan undang-undang sekalipun juga diwarnai oleh semangat korupsi. Beberapa gambaran di bawah ini menunjukkan bagaimana praktek-praktek korupsi tersebut memiskinkan bangsa.
Kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi suap, bukannya rakyat luas. Para politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil. Politikus-politikus “pro-bisnis”ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena mengabaikan prosedur, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi, sehingga yang wujud adalah kemunduran legitimasi pemerintahan dan nilai-nilai demokrasi.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat kekacauan dan ketidak-efisienan yang tinggi. Dalam sektor swasta, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup dan akhirnya karena sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Perusahaan yang dekat dengan penguasa dilindungi dan akibatnya adalah perusahaan-perusahaan yang tidak efisien dipertahankan. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Lebih lanjut, baik individu maupun masyarakat secara keseluruhan - selain meningkatkan ketamakan dan kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan, korupsi juga akan menyebabkan hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama. Rasa saling percaya yang merupakan salah satu modal sosial yang utama akan hilang, masyarakat kehilangan rasa percaya, baik antar sesama individu, maupun terhadap institusi negara.

C. Peran Masyarakat dalam Memberantas Korupsi di Nias
Di atas telah diuraikan bahwa korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa ini (Indonesia), tanpa kecuali daerah Nias, Nias Selatan dan tiga daerah otonomi baru di kepulauan Nias (Kota Gunungsitoli, Nias Utara dan Nias Barat) termasuk didalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi sudah menjadi agenda utama dan global. Namun agenda pemberantasan korupsi di Nias secara khusus dan Indonesia pada umumnya ternyata tidak bisa diperankan semata oleh elit politik dan aparat pemerintahan saja (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) mengingat penyakit yang satu ini sudah merajalela serta mengakar dan menjangkiti berbagai institusi pemerintahan . Dengan demikian dibutuhkan peran strategis masyarakat untuk mencegah, mendeteksi serta memberantas korupsi.
Hanya masih disayangkan berbagai kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan strategi pemberantasan korupsi belum mendukung adanya peran serta masyarakat yang lebih strategis. Sebab tanpa didukung dengan kebijakan pemerintah yang menguntungkan, masyarakat telah memainkan perannya dalam pemberantasan korupsi di berbagai aras.
Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam memberantas korupsi, antara lain:
Pertama, peran sebagai informan atau penyuplai informasi. Dalam hal ini masyarakat berperan mengambil inisiatif untuk melaporkan, membeberkan dan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum terhadap kemungkinan terjadinya praktek korupsi. Untuk mewujudkan peran ini, maka yang harus dimiliki oleh masyarakat adalah rasa peka dan kewaspadaan yang tinggi terhadap proses penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan. Adanya sikap semacam ini akan memicu keingintahuan masyarakat (secara dalam dan luas) pada hal-hal yang berlaku di sekitarnya. Dengan demikian jawaban atas keingintahuan masyarakat tersebut sangat potensial menjadi data dan informasi sebagai salah satu sumber data yang berguna untuk disampaikan kepada penegak hukum atas adanya indikasi praktek korupsi. Hal yang sangat membantu akhir-akhir ini adalah kebebasan memperoleh informasi telah menjadi produk kebijakan yang memaksa semua pejabat publik untuk membuka akses informasinya kepada masyarakat. Dalam kondisi ini, sangat memungkinkan laporan-laporan terjadinya kasus korupsi dapat terus mengalir, sehingga praktek korupsi akan dapat diminimalisir.
Kedua, peran sebagai penyebar isu. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau priorotas penanganan kasus-kasus pelanggaran hukum yang ada kaitannya dengan korupsi di negara ini tergantung pada seberapa luas isu dugaan korupsi itu menyebar dan sejauhmana media memberitakannya. Dalam kaitan inilah masyarakat berperan sebagai pemicu atau penyebar isu. Strategi ini menjadi sangat penting untuk membentuk opini atau persepsi masyarakat bahwa di satu tempat diduga kuat terjadi praktek korupsi, sekaligus sebagai respon atas rendahnya inisiatif aparat penegak hukum dalam membongkar kasus-kasus korupsi. Kebekuan ini perlu diterobos dengan memberikan informasi adanya dugaan korupsi kepada media massa supaya diketahui masyarakat luas. Situasi ini diharapkan akan dapat memaksa aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan yang konkrit. Strategi ini memang berisiko, misalnya dituntut dengan pencemaran nama baik, namun upaya itu tetap tidak bisa ditinggalkan.
Ketiga, peran sebagai pengawas. Tidak jarang bila laporan masyarakat tentang terjadinya kasus korupsi sering tidak ditanggapi dengan baik oleh aparat penegak hukum. Penegak hukum seringkali beranggapan bahwa Informasi atau data yang disampaikan oleh masyarakat semata-mata sebagai alat untuk memeras. Dalam kaitan inilah masyarakat tampil sebagai pengawas dan berperan untuk mengawal proses pengusutan kasus korupsi yang sedang dilakukan oleh aparat. Kegiatan unjuk rasa, dengar pendapat, diskusi publik, audiensi dan lain sebagainya merupakan sarana yang kerap digunakan kelompok masyarakat untuk mendorong percepatan penanganan korupsi. Memastikan bahwa pemberantasan korupsi berjalan sesuai dengan harapan merupakan langkah yang tidak mungkin diabaikan ditengah-tengah situasi aparat penegak hukum yang lamban dan setengah hati mengusut laporan.
Keempat, pesan moral melalui pendidikan. Satu hal yang tidak boleh terabaikan adalah proses pendidikan bagi anak-anak dalam keluarga. Perilaku korupsi pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dengan kualitas moral para pejabat publik pelaku korupsi. Disinilah masyarakat memiliki peran strategis untuk membekali anak-anak dalam keluarga melalui pendidikan nilai yang diwariskan kepada anak-anak secara turun-temurun. Melalui pendidikan karakter yang baik sejak usia dini terutama dalam keluarga, dapat diharapkan kelak anak-anak menjadi orang dewasa yang tidak mudah tergoda dengan sikap dan perilaku korupsi.

D. Penutup
Akhirnya, apa yang diuraikan di atas merupakan catatan reflektif penulis atas apa yang saat ini sedang dihadapi oleh bangsa dan negara kita secara umum dan Nias pada khsususnya. Dan harus disadari bahwa upaya pemberantasan korupsi itu sendiri tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah saja, namun dibutuhkan peran serta dari masyarakat luas. Sehingga pada akhirnya korupsi dapat diberantas paling tidak diminimalisir. Lebih lanjut, bahwa peran komponen bangsa/masyarakat lainnya seperti lembaga keagamaan dan pendidikan, juga sangat memadai untuk menjadi sarana kampanye anti korupsi yang tengah melanda negeri ini, di samping upaya internalisasi code of conduct - anti korupsi bagi setiap lembaga swadaya masyarakat.

Delipiter Lase │+62 821137 55597 │ Jl. Supomo No. 1 Gsitoli
Karyawan Swasta │ piterlase@gmail.com